Minggu, 19 Maret 2017

Distribusi Konten Pornografi

Seorang Pria dan Wanita bekernalan melalui Facebook dan melakukan kopi darat. Setelah beberapa kali bertemu, mereka merasa saling cocok dan akhirnya berpacaran. Seiring berjalannya waktu, merekamelakukan hubungan badan. Pria mengambil gambar atau merekam hubungan seksualnya dengan Wanita, dengan dalih untuk dinikmati sendiri.
Kemudian, dalam hubungan mereka, pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Wanita kemudian memutuskan hubungan mereka. Karena tidak terima, Pria mengunduh foto dan rekaman video hubungan seksual mereka.
Bagaimana pertanggung jawaban hukum Pria dan Wanita yang dimaksud? Apakah Wanita dapat dimintai pertanggung jawaban hukum karena terlibat dalam pembuatan foto atau video Pornografi?
Asumsi dibuat ialah:
  1. yang dimaksud “membuat foto atau video porno untuk dinikmati sendiri” ialah foto atau rekaman video hubungan seksual antara pria dan wanita itu sendiri.
  2. Pria dan Wanita tidak termasuk dalam kategori anak sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan.

A. Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi
Berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan
  3. UU 44/2008 tentang Pornografi;
Dalam BAB – XIV KUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga dengan UU 11/2008. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dari ketiga undang-undang yang dimaksud, UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini.
Secara teoritis-normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut Pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
  1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
  2. kekerasan seksual;
  3. masturbasi atau onani;
  4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  5. alat kelamin; atau
  6. pornografi anak
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri

B. Pembuatan Pornografi
Dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video seksual mareka dan foto serta video tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian dalam Pasal 44/2008 maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pornografi.
Dalam hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau priba, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Persetujuan (consent) merupkan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.

C. Diseminasi atau Distribusi Pornografi
Dalam hal pembuatan foto atau video disetujui oleh para pihak maka penyebaran oleh salah satu pihak dapat membuat pihak lain terjerat ketentuan pidana, sepanjang pihak itu tidak secara tegas memberikan larangan untuk penyebarannya.
Sebagai contoh apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman Pornografi, kemudian pria menyebarkan Pornografi, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap Pornografi tersebut maka wanita dapat terjerat tindak pidana penyebaran Pornografi.
Apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkan Pornografi tersebut maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta penyebaran pornografi.
Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video Pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan Pornografi tersebut. Dalam hal ini, penyebaran Pornografi oleh pria menjadikan wanita sebagai korban.

D. Penyimpanan Produk Pornografi
Pasal 6 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang…, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Menimbulkan pertanyaan apakah video atau foto Porno tersebut yang dibuat oleh pria dan wanita juga dilarang?
Salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut.
  1. Dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu maka penyimpanan atau pemilikian Pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008.Secara teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang.
  1. Apabila dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.

E. Memfasilitasi Pornografi
Pasal 7 UU 44/2008 mengatur bahwa Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Apakah tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada wanita atau pria dalam pembuatan pornografi termasuk memfasilitasi Pornografi?
Interpretasi yang mungkin ialah bahwa sepanjang wanita atau pria yang telah memberikan persetujuan itu terlibat di dalam foto atau video pornografi tersebut maka, ia tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan Pornografi.

F. Penyebaran Pornografi
Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yaitu ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) milliar rupiah.
Pasal 4 ayat (1) Setiap orang dilarang…, membuat,…menyebarluaskan… Pornografi…
Ancaman terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008 yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta rupiah dan paling banyak Rp 6 miliar rupiah.

Pembatasan Hak dan Tanggung Jawab
Semua informasi atau pertanyaan serta pendapat yang diberikan dalam forum ini merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi yang diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, dan bukan merupakan pendapat hukum yang mengikat siapapun, serta bukan pendapat resmi dari instansi apapun. Pendapat ini ditujukan untuk membuka wacana dalam mengembangkan konsep atau pemahaman hukum terkait penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang memiliki kesamaan kondisi atau yang ingin menggunakan pendapat atau informasi ini harus mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan penasehat hukumnya.

Referensi:
  1. SItompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa.
  2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
  3. UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  4. UU 44/2008 tentang Pornografi
copy: http://cyberlaw.id/distribusi-konten-pornografi/

Merekam Pembicaraan Tanpa Izin

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) pada dasarnya memuat dua bagian besar pengaturan:
1.    Pengaturan mengenai sistem dan transaksi elektronik;
2.    Pengaturan mengenai tindak pidana siber yang mencakup hukum materil dan hukum formil.
Pengaturan tindak pidana siber dalam konteks hukum materil mengacu pada European Convention on Cybercrime, 2001. Pasal 31 UU ITE mengatur mengenai intersepsi ilegal, sebagai berikut.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Penjelasan Pasal 31 UU ITE mengatur bahwa:
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU ITE ialah intersepsi ilegal yang dilakukan dalam suatu Sistem Elektronik. Sedangkan dalam ayat (2) penekanannya ialah terhadap intersepsi ketika komunikasi sedang berada dalam proses transmisi. Akan tetapi keduanya menekankan bahwa intersepsi tersebut dilakukan atas Informasi atau Dokumen Elektronik. Oleh karena itu yang menjadi menarik ialah apakah realita yang sedang direkam tersebut merupakan Informasi Elektronik?
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 angka 1 UU ITE).
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 angka 4 UU ITE).
Perbedaan mendasar antara Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik ialah bahwa yang pertama merupakan data sedangkan yang kedua merupakan wadah dari data tersebut. Misalnya, dalam file dalam format .doc maka seluruh data mengenai file tersebut merupakan Informasi Elektronik sedangkan .doc merupakan wadah dari informasi tersebut. Demikian juga dengan file dalam bentuk .mp3, .txt, .html.
Berdasarkan definisi yang diatur dalam UU ITE maka realita berupa suara atau kejadian yang direkam dalam satu tape recorder atau kamera bukanlah data elektroik, bukan Informasi Elektronik dan bukan Dokumen Elektronik. Kamera atau tape recorder tersebut merekam kejadian atau suara dengan mengubahnya menjadi Informasi dan Dokumen Elektronik. Dengan perkataan lain suara yang diucapkan pada waktu kejadian masih belum termasuk dalam Informasi atau Dokumen Elektronik. Oleh karena itu, perekaman terhadap kejadian nyata secara langsung dengan menggunakan kamera yang dimaksud bukanlah termasuk dalam pelanggaran Pasal 31 UU ITE.
Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia belum terdapat pengaturan yang tegas apakah perekaman suara atau kejadian tersebut harus dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak atau cukup salah satu pihak saja. Sebagai contoh, apakah ketika seseorang menaruh kamera tersembunyi dalam baju atau berbentuk bros untuk merekam suara atau kejadian termasuk perekaman yang sah atau tidak? Oleh karena itu, terkait masalah hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa adanya persetujuan dari salah satu pihak sudah cukup menjadi dasar untuk melakukan perekaman yang dimaksud.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Referensi:
Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta : Tatanusa.
copy : http://cyberlaw.id/merekam-pembicaraan-tanpa-izin/

Menggunakan Identitas Orang Lain

Sebagai bahan diskusi. Seorang Warga Negara Indonesia (“WNI”) menggunakan identitas palsu (yaitu foto dan identitas seorang Warga Negara Asing (“WNA”) yang tinggal di luar negeri tanpa izin) dan ia melakukan chatting dengan seorang Warga Negara Brunei karena WNI tersebut ingin mendapatkan informasi tertentu darinya. Setelah beberapa lama berkomunikasi, WNI yang dimaksud mengungkapkan identitas yang sebenarnya pada Warga Brunei tersebut.
Pertanyaan-pertanyaannya ialah:
  1. Apakah WNI yang menggunakan identitas termasuk foto WNA tersebut dapat dituntut?
  2. Dan dengan hukum Negara mana WNI tersebut dapat dituntut?
  3. Serta bagaimana prosedurnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam pembahasan ini, hanya difokuskan pada ketentuan dan prinsip hukum pidana, khususnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Mengingat yang dibahas merupakan isu yang problematik, diskusi ini akan mensimplifikasi permasalahan dan bersifat provisional sehingga ada aspek-aspek lain yang tidak dapat dibahas.
Salah satu karakteristik penanganan cyber crime adalah kemungkinan tumpang tindih dalam jurisdiksi. Hal ini disebabkan pada sifat dari Informasi Elektronik yang dapat ditransmisikan dari mana saja dan dapat menimbulkan akibat di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar wilayah suatu negara.
Prinsip Keberlakuan Hukum Pidana Indonesia
Prinsip-prinsip keberlakuan hukum pidana Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan prinsip-prinsip tersebut didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional, antara lain asas teritorialitas, asas nasionalitas aktif, dan asas nasionalitas pasif.
Berdasarkan asas teritorial, hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang, baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia, baik wilayah darat maupun laut. Prinsip ini disebut prinsip teritorial. Ruang lingkup teritorial ini diperluas dengan mempersamakan kendaraan air dan pesawat udara yang menggunakan bendera suatu negara sebagai bagian dari wilayah negara itu. Dalam KUHP, asas teritorial diatur dalam Pasal 2 KUHP[1], sedangkan perluasan dari asas ini diatur dalam Pasal 3 KUHP[2].
Tidak hanya itu saja, dalam Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 KUHP juga terdapat asas-asas keberlakukan pidana. Pasal 4 KUHP memuat asas nasionalitas pasif. Maksudnya, hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang – baik WNI maupun WNA– yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. Sedangkan Pasal 5 KUHP mengandung asas nasionalitas aktif, yaitu hukum pidana Indonesia berlaku terhadap WNI di manapun ia berada.
Dalam perkembangan penerapannya, asas-asas tersebut memiliki keterbatasan dalam menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana siber khususnya di luar wilayah suatu negara. Oleh karena itu, banyak negara menambahkan asas ekstrateritorial. Pasal 2 UU ITE menegaskan bahwa:
“Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam UU ITE, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”
Manipulasi Informasi dan Dokumen Elektronik
Pasal 35 UU ITE mengatur:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.”
Tujuan pengaturan Pasal 35 UU ITE ialah menjaga dapat dipercayanya informasi atau dokumen elektronik (reliability) khususnya dalam transaksi elektronik. Keotentikan mengindikasikan bahwa informasi atau dokumen elektronik dapat dipercaya (reliable). Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan keotentikan suatu informasi atau dokumen elektronik, yaitu sumber dan konten. Suatu informasi atau dokumen elektronik dikategorikan otentik apabila: (1) sumbernya berasal dari orang atau pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk mengeluarkan informasi/dokumen elektronik yang dimaksud; dan (2) kontennya adalah konten yang dimaksudkan oleh sumber (Sitompul, 2012).
Dalam Pasal 35 UU ITE, otentiktidak hanya dimaksudkan pada data yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga mencakup data milik perusahaan[3] atau pribadi yang dibuat oleh mereka. Sedangkan yang dimaksud konten yang otentik ialah bahwa informasi atau data yang terdapat dalam Informasi atau Dokumen Elektronik ialah muatan yang dibuat, dikeluarkan, dipublikasikan, dikirimkan oleh sumber yang dimaksud (Sitompul, 2012).
Pasal 35 UU ITE diatur secara alternatif, maksudnya cukup dibuktikan bahwa pelaku melakukan salah satu dari perbuatan yang dimaksud. Melalui perbuatan-perbuatan ini maka muncullah hak yang tidak sah bagi dirinya atau orang lain. Penggunaan hak yang dimaksud tentunya menjadi tidak sah.
Secara umum, yang dimaksud dengan manipulasi ialah upaya dengan kepandaian atau alat perangkat untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang merugikan orang lain, termasuk di dalamnya berbuat curang atau melakukan penipuan.[4]
Penerapan Kasus
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, Perbuatan WNI menggunakan identitas WNA dan fotonya dengan tujuan seolah-olah ia adalah WNA tersebut dan setiap informasi yang ia sampaikan melalui identitas palsu itu berasal dari WNA yang dimaksud merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 35 UU ITE.
Dengan demikian, yang menjadi korban bukan hanya warga negara Brunei Darussalam tetapi juga WNA yang identitasnya digunakan tanpa hak oleh WNI tersebut. Selanjutnya, secara normatif, WNI tersebut dapat diproses sebagai palaku berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 35 UU ITE.
Ia juga dapat diproses berdasarkan UU Pidana Negara Brunei karena warga Negara Brunei adalah korban. Tidak hanya itu saja, sekiranya perbuatan WNI diketahui oleh pemilik identitas dan foto tersebut maka ia juga dapat memproses WNI tersebut karena menggunakan identitasnya tanpa izin. Secara normatif, mereka dapat memprosesnya di Indonesia maupun di negara masing̶masing. Akan tetapi, proses hukum tersebut jauh lebih kompleks karena terkait dengan, antara lain, isu perbedaan yurisdiksi, isu tempus dan locus delicti, keberadaan bukti̶bukti, isu mutual legal assistance, dan biaya memproses perkara.
Dasar Hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[1] Pasal 2 KUHP: aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.
[2] Pasal 3 KUHP: ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
[3]Dalam hal ini misalnya seseorang membuat website dengan menggunakan logo, tulisan, format tampilan seolah-olah website tersebut adalah milik Perusahaan PT. XYZ. Kemudian ia membuat pengumuman perekrutan pegawai seolah-olah pengumuman tersebut dikeluarkan oleh PT. XYZ. Tujuannya ialah mengambil data pribadi calon pelamar dalam curriculum vitae-nya yang dapat dia gunakan untuk tindak pidana lainnya.
[4] Disarikan dari definisi “manipulasi” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 15 September 2011.

Tulisan ini sudah dipublikasi di Hukum Online http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52d3d3f15c110/hukuman-bagi-kejahatan-siber-wni-yang-menggunakan-identitas-wna
copy : http://cyberlaw.id/menggunakan-identitas-orang-lain/ 

Sabtu, 18 Maret 2017

Legalitas Penjualan Minuman Beralkohol Online

Berbicara mengenai peredaran Minuman Beralkohol maka dalam diskusi kali ini perlu dibahas mengenai tanggung jawab pelaku usaha online dan esensi dari pengaturan peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol.
Tanggung jawab Pelaku Usaha Online
Pasal 9 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” meliputi:
  1. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
  2. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.
Pasal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 47 PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Ekektronik. Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. Kontrak Elektronik dianggap sah apabila:
  1. terdapat kesepakatan para pihak;
  2. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. terdapat hal tertentu; dan
  4. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Ruang lingkup “objek transaksi” yang dimaksud merupakan bagian dari pembahasan selanjutnya mengenai esensi pengaturan peredaran atau penjualan Minuman Beralkohol.
Ruang Lingkup Minuman Beralkohol
Untuk memperjelas diskusi kali ini maka ruang lingkup minuman keras yang dibahas ialah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol (Perpres 72/2013). Menurut peraturan ini, yang dimaksud dengan:
  • Minuman Beralkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.
  • Minuman Beralkohol Tradisional adalah Minuman Beralkohol yang dibuat secara tradisional dan turun temurun yang dikemas secara sederhana dan pembuatannya dilakukan sewaktu-waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan
Latar Belakang Perpres 74/2013
Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 merupakan peraturan yang dikeluarkan sebagai respons terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 42/P/HUM/2012 tanggal 18 Juni 2013 mengenai uji materiil terhadap Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol (Kepres 3/1997) terhadap Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Minuman Beralkohol sebagai Barang dalam Pengawasan
Menurut Perpres 74/2013, Minuman Beralkohol dapat berasal dari produksi dalam negeri atau dari impor. Jenis minuman tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
  • Golongan A yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar sampai dengan 5%
  • Golongan B yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 5% sampai dengan 20%
  • Golongan C yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20% sampai dengan 55%
Seluruh jenis minuman tersebut ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Yang dimaksud dengan pengawasan ialah pengawasan terhadap pengadaan (baik produksi dalam negeri maupun impor) serta peredaran dan penjualannya.
Meskipun Minuman Beralkohol diatur dalam Perpres 74/2013, dalam pelaksanaan pengawasan dan peredarannya diatur dalam berbagai regulasi yang dibuat oleh beberapa instansi pemerintah. Peraturan Presiden 74 Tahun 2013 mengatur bahwa minuman Beralkohol hanya dapat diedarkan setelah memiliki izin edar dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Di sisi lain, Minuman beralkohol hanya dapat diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan Minuman Beralkohol sesuai dengan penggolongannya dari Menteri Perdagangan.
Kemudian peraturan ini juga mengatur Minuman beralkohol harus memenuhi standar mutu produksi serta standar keamanan dan mutu pangan. Standar mutu produksi dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian, sedangkan standar keamanan dan mutu pangan ditetapkan oleh Badan POM. Minuman beralkohol yang akan diedarkan atau dijual juga wajib diberikan label sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penjualan Minuman Beralkohol
Minuman beralkohol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di:
  1. hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan;
  2. toko bebas bea; dan
  3. tempat tertentu selain huruf a dan b yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Penjualan dan/atau peredaran Minuman Beralkohol di tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit. Selain tempat-tempat yang sudah ditentukan tersebut, Minuman Beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Selain itu, penjualan Minuman Beralkohol dilakukan terpisah dengan barang-barang jualan lainnya
Salah satu Peraturan Menteri yang merupakan implementasi dari Peraturan Presiden 74/2013 ialah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol (Permendag 20/4/2014). Dalam peraturan ini diatur sebagai berikut.
Penjualan Minuman Beralkohol untuk diminum langsung di tempat hanya dapat dijual di:
  1. Hotel, Restoran, Bar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan;
  2. tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Provinsi Daerah khusus Ibukota Jakarta.
Penjualan Minuman Beralkohol secara eceran hanya dapat dijual oleh pengecer pada:
  1. Toko Bebas Bea;
  2. tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Provinsi Daerah khusus Ibukota Jakarta.
Selain kedua jenis tempat tersebut, Minuman Beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko Pengecer berupa:
  1. minimarket;
  2. supermarket, hypermarket; atau
  3. toko pengecer lainnya yang mempunyai luas lantai penjualan minimal 12m2.
Penjualan Minuman Beralkohol untuk dimimum langsung, secara eceran, atau di toko Pengecer hanya dapat diberikan kepada konsumen yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih dengan menunjukkan kartu identitas kepada petugas/pramuniaga.
Toko Bebas Bea sebagai pengecer yang berlokasi di kawasan pabean hanya diizinkan menjual Minuman Beralkohol kepada:
  1. orang yang berpergian ke luar negeri; atau
  2. penumpang yang sedang transit di kawasan pabean;
Toko Bebas Bea yang berlokasi di dalam kota hanya diizinkan menjual Minuman Beralkohol kepada:
  1. anggota korps diplomatik yang bertugas di Indonesia beserta keluarganya yang berdomisili di Indonesia berikut lembaga diplomatik;
  2. pejabat/tenaga ahli yang bekerja pada Badan Internasional di Indonesia yang memperoleh kekebalan diplomatik beserta keluarganya; atau
  3. turis asing yang akan keluar dari daerah pabean.
Penjualan Minuman Beralkohol wajib dibuktikan dengan Paspor dan tanda bukti penumpang (Boarding Pass)
Berdasarkan peraturan tersebut maka yang dapat disimpulkan adalah:
  1. Peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol dilakukan terbatas, dilihat dari subjek yang dapat melakukan penjualan maupun tempat penjualan.
  2. Meskipun ada kemungkinan bahwa Kepala Daerah dapat menetapkan tempat tertentu sebagai tempat penjualan Minuman Beralkohol, tetapi besar kemungkinan tempat tersebut bukanlah melalui Internet atau secara online karena adanya ketentuan:
  1. bahwa “tempat tertentu” yang lain itu tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit;
  2. bahwa yang dapat mengkonsumsi Minuman Beralkohol hanya mereka yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, atau kepada konsumen tertentu dalam kondisi tertentu;
  3. adanya kewajiban untuk memperlihatkan kartu identitas, seperti KTP maupun passport.
Pemblokiran Website Minuman Beralkohol
Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif (Permen Kominfo 19/2014) mengatur adanya situs-situs yang dapat dimasukkan dalam database Trust+Positif (database yang berisi situs yang harus diblokir oleh Penyelenggara Jasa Akses Internet). Berdasarkan peraturan tersebut, prosedur pemblokiran suatu website atau situs dilakukan sebagai berikut.
  1. Adanya permintaan tertulis atau elektronik dari masyarakat, atau permintaan resmi dari instansi pemerintah, atau aparat penegak hukum; masyarakat dapat melaporkan konten pornografi. Instansi pemerintah atau aparat penegak hukum dapat melaporkan adanya konten yang dilarang berdasarkan peraturan perundang-udangan yang menjadi kewenangan mereka masing-masing. Surat permintaan dari Instansi pemerintah atau aparat penegak hukum tersebut harus berisi penilaian terkait dengan alamat situs, jenis muatan yang dilarang dan jenis pelanggaran berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangannya;
  2. Permintaan dari masyarakat akan ditindaklanjuti oleh Kementerian Kominfo dengan melakukan pemeriksaan terhadap situs yang diduga memiliki muatan konten pornografi. Sedangkan permintaan dari instansi pemerintah atau aparat penegak hukum dilakukan dengan mengumpulkan bukti dari situs tersebut. Pengumpulan bukti ini dimaksudkan sebagai dasar bagi Kementerian sekiranya ada pihak lain yang komplain terhadap pemblokiran tersebut.
  3. Kementerian Kominfo akan memasukkan situs-situs yang melanggar peraturan perundang-undangan ke dalam database yang disebut Trust+Positif. Kemudian database tersebut disampaikan kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet.
  4. Penyelenggara Jasa Akses Internet akan melakukan pemblokiran terhadap situs yang dilarang.
  5. Masyarakat dapat mengajukan komplain terhadap pemblokiran suatu situs kepada Kementerian Kominfo. Kementerian dapat memberikan penjelasan mengenai alasan dan dasar hukum satu situs diblokir.
Sekiranya ada permintaan dari Instansi yang terkait, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Perindustrian, atau Kementerian Perdagangan mengenai penjualan atau peredaran Minuman Beralkohol dalam satu situs atau website yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (dari segi standar mutu produkti, standar keamanan, dan mutu pangan), instansi tersebut dapat meminta Kementerian Kominfo untuk melakukan pemblokiran terhadap situs yang dimaksud.

Dasar Hukum
  1. UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;
  3. Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol;
  4. Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif;
  5. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol;

Referensi:
Sitompul, Josua. 2014. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa.